Jumat, 05 September 2014



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Hukuman pidana Islam (Fiqh Jinayah) yang mendapat tudingansebagai hukum yang out of date dan dehumanis. Tudingan itu terjadi karena ketidaksanggupan mereka menangkap ruh syari’at Islam. Padahal hukum pidana Islam sebagaimana yang tertera dalam nash tidaklah absolute. Nabi tidak selalu memperlakukan hukum sebagaimana bunyi teks tetapi sangat kondisional. Hukuman pidana Islam bukanlah sifat ortodoks melainkan memberikan ruang gerak bagi akal pikiran manusia untuk ijtihat. Ijtihat ini diberikan dalam rangka menginterprestasikan teks – teks hukum sehingga mampu merespon kebutuhan dan tuntutan masyarakat secara dinamis. Oleh karena itu perlu diadakan reaktualisasi pemikiran hukum pidana Islam terutama dari sisi klasifikasi tindak pidana sampai kepada perssoalan sanksi.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Mengetahui pandangan hukum Islam tentang hukuman mati dalam perspektif HAM
2.      Mengetahui panangan hukum Islam tentang bom bunuh diri sebagai refleksi ijtihat
3.      Mengetahui pandangan hukum Islam tentang reaktualisasi had / rajam
4.      Mengetahui hukum Islam tentang reaktualisasi ta’zir











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pandangan Hukum Islam tentang Hukum Mati dalam Perspektif HAM

1.    Pidana mati dalam perspektif konstitusional (undang-undang)
Secara normatif hukuman mati diterapkan di negara-negara modern khususnya indonesia atas perbuatan-perbuatan yang behubungan dengan subversi, makar, terorisme, pembunuhan berencana dan lain-lain. Karena itu, menurut penguasa adalah pantas orang yang melakukan demikian dijatuhi hukuman mati dengan ini, maka kita berbicara tentang filsafat negara oleh karena orang yang bersangkutan melakukan perbutan di luar batas atau bertentangan dengan kebijaksanaan negara sebagai penguasa.
Dalam KUHP pasal 10 ditegaskan bahwa salah satu pidana pokok adalah pidana mati. Pidana mati sebagai maksud dilaksanakan oleh seorang atau beberapa algojo yang ditunjuk sebagai eksekutor. Pidana mati khususnya lebih banyak dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana pembunuhan berencana, karena tindak pidana ini adalah tindak pidana yang sangat keji dan menghancurkan sisi kemanusiaan.
Dalam undang-undang No. 15 tahun 2003 disebutkan bahwa setiap tindak pidana terorisme akan dijatuhi pidana mati. Dalam penjelasan UU No.15 tahun disebutkan bahwa peraturan tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini dapat dilihat dari pembukaan UUD 1945 dengan redaksi ‘...melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi , dan keadilan sosial’. Karena itu tindak pidana terorisme harus dihukum seberat-beratnya dengan pidana mati dengan berdasrkan pada tekad untuk menjaga integrasi bangsa.
Dalam UU No. 22 tahun 1997 tentang narkotika dicantumkan hukuman mati sebagai salah satu pidana terberat bagi pihak yang menyalahgunakan narkotika (mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi pelantara dalam jual beli, alat menukar narkotika Golongan I) dan merugikan masyarakat umum.
Meski pernah diujimaterilkan di Mahkamah Konstitusi (MK), namun pidana mati dalam UU No.22 tahun 1997 dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena konstitusi indonesia tidak menganut azas kemutlakan HAM. Hak asasi yang diberikan oleh konstitusi kepada warga negara mulai dari pasal 28A hingga 281 Bab XA UUD 1945, menurut MK, dibatasi oleh pasal selanjutnya yang merupakan pasal kunci yaitu pasal 28J, bahwa Hak asasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial.
Dalam UU No. 31 tahun 31 juga mencantumkan pidana mati sebagai pidana atas terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Hal tersebut tergambar dalam pasal 2 ayat 2 yang menyebutkan ‘dalam hal tindak pidana korupsi sebagai dimaksud ayat (1) dilakukan dalam keadaan terteantu, pidana mati dapat dijatuhkan’. Keadaan tertentu   dimaksudkan bahwa pidana mati dijatuhkan atas tindak korupsi yang dilakukan saat negara berada dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis moneter. Pidana mati tidak merampas hak hidup seseorang, pidana mati bukanlah pidana yang diterapkan pada semua tindak pidana, pidana mati adalah pidana yang sifatnya kasuistik dana melalui serangkaian proses panjang untuk menjatuhkannya.
Pidana mati tidaklah bertentangan dengan dengan HAM, justru pidana mati menjaga eksistensi manusia, karena dengan ancaman seberat itu, seseorang akan berfikir ulang jika ingin mengganggu bahkan menghilangkan hak hidup seseorang.

2.    Pidana Mati dalam Perspektif Islam  
Dalam istilah bahasa Arab hukuman dikenal dengan kata عقوبة (‘uqūbah) yang berarti siksa atau hukuman, yaitu hukuman atas perbuatan yang melanggar ketentuan Syari’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat. Sementara dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata punishment, yang berarti a penalty imposed on an offender for a crime or wrongdoing (hukuman yang dijatuhkan kepada pelanggar kejahatan atau melakukakan kesalahan), sedangkan hukuman menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya; atau keputusan yang dijatuhkan oleh hakim.
Secara istilah hukuman sebagaimana dikemukakan oleh Abd al-Qadir Audah,     
العقوبةهىالجزاءالمقررلمصلحةالجماعةعلىعصيانامرالشارع
Artinya:
Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena adanya pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan syara’.
Syekh Wahbah az-Zuhaili membagi hukuman dalam Islam menjadi dua bentuk, yaitu: hukuman akhirat (العقوبة الاخروية) dan hukuman dunia (العقوبة الدنيوية)     
Hukuman akhirat merupakan kehendak Allah Swt, adalah hukuman yang benar (haq) dan adil (‘adl), ia dapat berbentuk azab atau ampunan dari-Nya. Adapun hukuman dunia menurutnya ada dua macam pula, yaitu:
a.    Hudud adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan bentuknya oleh Syari’ dengan nash-nash yang jelas. Hukuman had menurut Hanafiyah ada lima macam yaitu, had zina, had qadzf, had pencurian, had minum hamr, dan had mabuk. Sedangkan menurut jumhur ulama selain Hanafiyah ada tujuh macam yaitu had zina, had qadzf, had pencurian, had hirabah, had mabuk-mabukan, had qisas, had riddah.
b.    Ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh syara’, tetapi bentuk dan ketentuannya diserahkan kepada wali al-amr (negara) dengan memperhatikan perbedaan waktu dan tempat.
Hukuman mati merupakan salah satu alternative hukuman yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana hudud. Namun demikian hukuman mati hanya diberikan kepada empat pelau hudud, yakni pezina muhson, pembunuhan sengaja, hirobah, dan murtad.
a.    PezinaMuhson
Pelaku zina yang sudah kawin (muhson), sanksinya dirajam, yakni dilempari batu sampai mati. Hukuman rajam ini semua ulama sepakat dengan banyak hadits yang mengisyaratkan itu, namun yang mbedakannya adalah apakahsebelum dirajam itu didera atau tidak.
Menurut jumhur Ulama, orang yang harus dihukum rajam itu tidak didera. Sedang menurut al-Hasan al-Bashri, Ishaq, Ahmad dan Dawud, seorang yang pernah menikah dan melakukan zina dengan wanita lain maka sanksi hukumnya jilid kemudian dirajam (dicambuk kemudian dilempari batu). Hukuman tersebut dikenakan pada laki-laki dan perempuan. Karena Islam sangat menghargai kehormatan diri dan keturunan, maka sanski hukum yang sangat keras ini dapat diterima akal sehat. Bukankah secara naluriah manusia akan berbuat apa saja demi menjaga dan melindungi harga diri dan keturunannya.
Hukuman rajam ini jika diterapkan, sangat kecil kemungkinannya nyawa terpidana dapat diselamatkan.
Hukuman bagi pezina telah ditentukan oleh al-Qur’an dan Hadist. Bagi pelaku zina ghaoru muhson (yang belum menikah) didasarkan pada QS An-Nur:2
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( Ÿwur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏŠ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ôpkôuŠø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ  
perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.
b.    Pembunuhan Sengaja
Pelaku pembunuhan berencana (disengaja), sebagaimana dalam al-Qur’an QS. An-nisa’,93:
`tBur ö@çFø)tƒ $YYÏB÷sãB #YÏdJyètGB ¼çnät!#tyfsù ÞO¨Yygy_ #V$Î#»yz $pkŽÏù |=ÅÒxîur ª!$# Ïmøn=tã ¼çmuZyès9ur £tãr&ur ¼çms9 $¹/#xtã $VJŠÏàtã ÇÒÌÈ  

Artinya:
Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.
Orang yang membunuh orang Islam (tanpa hak) harus diqisas (dibunuh juga). Jika ahli-ahli waris (yang terbunuh) memaafkannya, maka pelaku tidak diqisas (tidak dihukum bunuh) tetapi harus membayar diyat (denda) yang besar, yaitu seharga 100 ekor unta tunai yang dibayarkan pada waktu itu juga.


c.    Perampokan(al-hirabah)
Al-hirabah adalah perampokan atau pengacau keamanan. Mengenai definisi hirabah ulama berbeda-beda dalam mendefinisikannya namun pada intinya sama. Para ulama fiqh, sebagaimana dijelaskan Wahbah, berbeda pendapat dalam mendefinisikan hirabah.
Definisi hirabah menurut Hanafi adalah “ke luar untuk mengambil harta dengan jalan kekerasan yang realisasinya menakut-nakuti orang yang lewat di jalan atau mengambil harta, atau membunuh orang”.
Sedangkan Syafi’iyah definisi hirabah adalah:”ke luar untuk mengambil harta, atau membunuh, atau menakut-nakuti, dengan cara kekerasan, dengan berpegang kepada kekuatan, dan jauh dari pertolongan (bantuan)”.
Menurut Imam Malik, hirabah adalah:”mengambil harta dengan tipuan (taktik), baik menggunakan kekuatan atau tidak”. Golongan Dzahiriyah memberikan definisi yang lebih umum, dengan menyebut pelaku perampokan sebagai berikut: “Perampok/Muhariib adalah orang yang melakukan tindak kekerasan dan mengintimidasi orang yang lewat, serta melakukan perusakan di muka bumi

d.   Pelaku Murtad
Riddah dalam arti bahasa adalah الرُجُوعَ عن الشَّىءِ الى غيره yang artinga kembali dari sesuatu ke sesuatu yang lain. Sedangkan dalam kamus al Munawwir riddah berasal dari kata: رَدَّهُ رُدًّا وَرِدَّةً : دَفَعَهُ صَرَفَهُ yang artinya menolak dan memalingkannya. Landasan hukuman mati untuk orang murtad dijelaskan dalam hadis Nabi artinya: ……dari Ibn Abbas ra. Ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “barang siapa menukar agamanya maka bunuhlah ia.” (H.R. Bukhari)
Pidana mati adalah salah satu jenis pidana yang dikenal dalam risalah Islam. Pidana mati dalam kitab-kitab fiqhiyah termasuk dalam pembahasan jinayat (pidana). Pidana mati adalah jenis pidana yang paling keras dan berat yang dijatuhkan kepada pihak yang melakukan pidana pembunuhan (pembunuhan sengaja dan pembunuhan berencana), pemberontakan, dan qishas. Sistem Islam juga mengenal pembuktian positif dimana seseorang yang tertuduh tidak serta merta diberi hukuman mati jika belum dapat dibuktikan secara positif. Hal ini dimaksudkan agar implementasi pidana mati tidak keliru dan merongrong hak seseorang yang paling asasi, yaitu hak hidup.
Fatwa MUI No. 10/MUNAS VII/MUI/14/2005 menetapkan bahwa negara dapat menerapkan pidana mati kepada pelaku kejahatan pidana tertentu. Dasar yang dipakai oleh MUI adalah ayat al Qur`an surat al Isra` ayat 33 dan al Baqarah ayat 178 yang berbunyi :
Ÿwur (#qè=çFø)s? }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 3 `tBur Ÿ@ÏFè% $YBqè=ôàtB ôs)sù $uZù=yèy_ ¾ÏmÍhÏ9uqÏ9 $YZ»sÜù=ß Ÿxsù ̍ó¡ç Îpû È@÷Fs)ø9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. #YqÝÁZtB ÇÌÌÈ  
Artinya :
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaankepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4 ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmŠÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yŠr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 y7Ï9ºsŒ ×#ÏÿøƒrB `ÏiB öNä3În/§ ×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt/ y7Ï9ºsŒ ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOŠÏ9r& ÇÊÐÑÈ  


Artinya :
hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih  
B.     Pandangan/tinjauan Hukum Islam tentang Bom Bunuh Diri sebagai Refleksi Jihad
Kata jihad bayak dijumpai dalam Al Qur`an. Secara bahsa di artikan dengan mengerahkan tenaga dan kemampuan. Sebagai istilah oleh ahli bahasa Al Qur`an raqib al Isfahanu dimaknai dengan 3 arti, yaitu:
1.         Berjuang melawan musuh nyata
2.         Berjuan melawan syetan
3.         Berjuang melawan hawa nafsu
Pandangan yang sama juga diutarakan oleh ulama besar Ibnu Qoyyim al Jauziah bahwa dalam berjuang melawan musuh nyata dinjabrakan kedalam orang-orang kafir dan orang-orang munafik.
Dengan demikian jihad dalam pengertian perang adalah sebagian dari arti jihad yang cukup luas. Pada umumnya kata jihad yang dimaknai perang diikuti dengan kata fi sabilillah sebagai anak kalimat. Jihad dalam arti perang hanya bertujuan semata-mata untuk meninggikan kalimat Allah dangan ridha Allah. Ini berarti perang dalam Islam yang berharap ridho Allah tidak boleh untuk tujuan lain, selain fi sabilillah. Dengan kata lain perang yang dilaksanakan atas dasar kebencian terhadap pihak lain, dendam pribadi, alasan kesukuan atau bertujuan mencari materi dan bukan atas dasar fi sabilillah bukan jihad.
1.    Bom bunuh diri dan hukumnya
Dalam Islam ada istilah jinayat, yang berarti beberapa hukum yang meliputi hukum membunuh orang, melukai, memotong, menghilangkan manfaat anggota badan, seperti menghilangkan salah satu panca indra.
a.    Islam melindungi hak hidup
Beberapa ayat alquran menjelaskan tentang prinsip Islam terhadap hak hidup dalam hal ini, hak hidup orang lain dengan melarang membunuh termasuk membunuh dirinya sendiri.
b.    Bom bunuh diri, pembunuhan yang direncanakan
Akibat bom bunuh diri ratusan orang telah terbunuh, terluka dan rusak serta hancurnya harta benda. Padahal mereka yang menjadi korban tersebut tidak pernah menyatakan kebencian, permusuhan terhadap Islam, umat Islam dan pemerintah Indonesia. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang harus dilindungi, diayomi dan diberi perlakuan sebagimana layaknya kehidupan sesama manusia, hidup berdampingan, saling kenal, saling berbuat baik, saling cegah keburukan. Mereka tidak boleh dibunuh dan dilukai semena-mena tampa alasan yang syar`i, tampa alasan hukum yang dibenarkan.
Pelaku bom bunuh diri adalah nyata-nyata dengan perencanaan rapi, berniat menghilangkan nyawa orang  lain, adalah pembunuhan yang disengaja dan direncanakan, yang hal tersebut tegas-tegas dilarang Allah dalam  Al Qur`an, dikategorikan sebagai dosa besar dan harus diqhisash serta disiapkan tempatnya di neraka.
c.    Bom bunuh diri adalah bunuh diri
Al Qur`an dan sunnah rasul mengatakan dengan tegas melarang membunuh diri sendiri. Apabila para teroris dalam hal ini menyatakan sebagai “jihad”. Maka hal tersebut adalah kekeliruan, sesat dan menyesatkan. Allah dalam firman-Nya mengatakan
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  
Dan janganlah kamu membunuh diri, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu”  
d.        Qishas
$oYö;tFx.ur öNÍköŽn=tã !$pkŽÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ šú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ šcèŒW{$#ur ÈbèŒW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù šX£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿŸ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ  
Artinya :
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
e.    Balasan tuhan terhadap pelaku bom bunuh diri
Balasan pembunuhan adalah dihukum bunuh yang disebut dengan Qishash. Sesuai dengan ketetapan Allah, pembunuhan adalah dosa besar dan dia akan mendapat balasan atas dosanya.
C.    Pandangan hukum Islam tentang Reaktualisasi had / rajam
Hukum rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari batu. Hukum ini hanya dilakukan pada kasus yang sangat tercela dengan syarat benar-benar terdapat bukti meyakinkan bahwa seseorang telah berzina. Meski demikian, tidaklah sembarang tuduhan bisa membawa kepada ketetapan zina. Sebaliknya, tuduhan zina bila tidak lengkap akan menggiring penuduhnya ke hukuman yang berat. Syarat yang harus ada dalam persaksian tuduhan zina adalah :
1.      Jumlah saksi minimal 4 orang yang sudah baligh semua
2.      Saksi adalah orang yang waras
3.      Islam
4.      Mereka melihat langsung peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita yang berzina
5.      Para saksi ini bersaksi dengan bahasa yang jelas (bukan kiasan)
6.      Mereka melihat peristiwa zina itu bersama-sama dalam satu majelis dan dalam satu waktu
7.      Semua saksi harus laki-laki